POTRET
KEGIATAN PERTAMBANGAN
(STUDI
KASUS: ABU TERBANG BATUBARA ( COAL FLY
ASH) DAN PEMANFAATANNYA)
DI SUDUT
KOTA SAMARINDA
KALIMANTAN
TIMUR
Pertambangan
batubara di Indonesia telah berlangsung selama 40 tahun lebih, sejak keluarnya
UU No.11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang kemudian diganti
dengan UU Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009. UU ini telah menjadi
landasan eksploitasi sumberdaya mineral dan batubara secara besar-besaran untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi. Industri batubara Indonesia telah berkembang
dengan pesat dalam waktu singkat.
Salah satu daerah penghasil batubara adalah
kota Samarinda. Kota Samarinda yang terletak di daerah khatulistiwa, propinsi Kalimantan
Timur yang memilki kondisi
topografi yang datar dan berbukit antara 10-200 meter diatas permukaan laut.
Dengan luas wilayah 718 km². Kota Samarinda berbatasan dengan Kabupaten Kutai
Kartanegara disebelah barat, timur, selatan dan utara yang merupakan penghasil
batubara terbesar kedua di Kalimantan Timur. Pada dasawarsa tahun 2000-an,
perkembangan peningkatan produksi batubara di Kota Samarinda semakin meningkat.
Sehingga Samarinda juga dikenal dengan sebutan kota tambang karena hampir
38.814 ha (54%) dari total 71.823 ha luas kota Samarinda merupakan areal
tambang batubara. Pertambangan batubara yang sudah berproduksi dengan rincian
38 KP (Kuasa Pertambangan) yang mendapat izin dari wali kota Samarinda dan 5
(lima) PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara)
dengan izin pemerintah pusat yang belum beroperasi (kompas 10 Januari 2016). Belum lagi ada puluhan tambang-tambang illegal yang
banyak dikelola pengusaha dan masyarakat. Bahkan sekarang kegiatan pertambangan
ini telah merambah kawasan lindung maupun perkotaan. Hal ini diketahui setelah
adanya bukti-bukti bahwa kawasan hutan raya Bukit Suharto telah dirambah
pertambangan batubara dan penambangan illegal yang dikenal dengan batubara
karungan yang banyak terdapat di kawasan perumahan-perumahan penduduk di kota
Samarinda makin memperparah kondisi lingkungan kota Samarinda.
Polemik polusi udara pada abu terbang (fly ash) sering terjadi di sekitar area
pertambangan batubara. Hal ini menjadikan keluhan oleh masyarakat sekitar area
pertambangan batubara akan penyakit saluran pernapasan atau pneumoconiosis yang
disebabkan oleh abu terbang tersebut. Adanya pengaruh abu terbang terhadap
kesehatan manusia perlu diantisipasi dengan cara memanfaatkan abu terbang
tersebut sebagai suatu inovasi ekonomis agar jumlah polusi dari abu terbang
dapat berkurang. Abu terbang batubara umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk
begitu saja di dalam area industri. Penumpukan abu terbang batubara ini
menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan
abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya
serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini abu terbang
batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat
beton.
Electrostatic Precipitator (ESP) adalah sebuah teknologi untuk menangkap
abu batubara hasil proses pembakaran dengan jalan memberi muatan listrik
padanya. Prinsip kerja ESP yaitu dengan memberi muatan negatif kepada abu
batubara tersebut melalui beberapa elektroda (biasa disebut discharge electrode). Jika abu tersebut
dilewatkan lebih lanjut ke dalam sebuah kolom yang terbuat dari plat yang
memiliki muatan lebih positif (biasa disebut collecting electrode), maka secara alami abu tersebut akan tertarik
oleh plat – plat tersebut. Setelah abu terakumulasi pada plat tersebut, sebuah
sistem rapper khusus akan membuat abu
tersebut jatuh ke bawah dan keluar dari sistem ESP.
Gambar 1. Elemen-eleman dari
Teknologi Electrostatic Precipitator (ESP)
Inovasi Electrostatic Precipitator (ESP) memberi muatan negatif kepada abu terbang
batubara melalui beberapa elektroda (discharge
elektrode). Jika abu tersebut dilewatkan lebih lanjut ke dalam sebuah kolom
yang terbuka dari plat yang memiliki muatan lebih positif (collecting electrode), maka secara alami abu tersebut akan tertarik
oleh plat – plat tersebut. Setelah abu terakumulasi oleh plat tersebut, sebuah
sistem rapper khusus akan membuat abu
tersebut jatuh ke bawah dan keluar dari sistem ESP.
Gambar 2. Prinsip Kerja dari
Electrostatic Precipitator (ESP)
Proses-proses yang terjadi pada ESP
sehingga abu terbang (fly ash) dapat terkumpul adalah
sebagai berikut:
- Charging.
ESP menggunakan listrik DC sebagai sumber dayanya, dimana Collecting Electrode (CE) terhubung dengan
kutub positif dan ter-grounding,
sedangkan untuk Discharge Electrode (DE) terhubung dengan kutub negatif yang bertegangan 55-85
kilovolt DC. Medan listrik terbentuk diantara DE dan CE, pada kondisi ini
timbul fenomena korona listrik yang berpendar pada sisi DE. Pada saat gas
buang batubara melewati medan listrik ini, fly
ash akan terkena muatan negatif yang dipancarkan oleh
kutub negatif pada DE. Proses pemberian muatan negatif pada abu tersebut
dapat terjadi secara difusi atau induksi, tergantung dari ukuran abu
tersebut. Beberapa partikel abu akan sulit dikenai muatan negatif sehingga
membutuhkan medan listrik yang lebih besar. Ada pula partikel yang sangat
mudah dikenai muatan negatif, namun muatan negatifnya juga mudah terlepas,
sehingga memerlukan proses charging kembali.
- Pengumpulan.
Abu yang sudah bermuatan negative akan tertarik untuk menuju ke CE atau
bergerak menurut aliran gas yang ada. Kecepatan aliran gas buang
mempengaruhi proses pengumpulan abu pada CE. Kecepatan aliran gas yang
rendah akan memperlambat gerakan abu untuk menuju CE. Sehingga umumnya
desain ESP biasanya digunakan beberapa seri CE dan DE yang diatur
sedemikian rupa sehingga semua abu yang terkandung di dalam gas buang
boiler dapat tertangkap.
- Rapping.
Lapisan abu yang terkumpul pada permukaan CE harus secara periodik
dirontokan. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan jalan memukul
bagian CE dengan sebuah sistem mekanis. Sistem rapper mekanis ini terdiri dari sebuah hammer, motor penggerak, serta sistem gearbox sederhana yang dapat mengatur gerakan
memukul agar terjadi secara periodik. Sistem rapper tidak hanya terpasang pada sisi CE,
pada DE juga terdapat sistem rapper. Hal ini
karena ada sebagian kecil dari abu yang akan bermuatan positif karena ia
ter-charging oleh CE yang bermuatan positif.
- Abu
yang rontok dari CE akan jatuh dan terkumpul di hopper yang terletak di bawah sistem CE dan
DE. Hopper ini harus didesain dengan baik agar
abu yang sudah terkumpul tidak masuk kembali ke dalam kompartemen ESP.
Selanjutnya dengan menggunakan udara bertekanan, kumpulan abu tersebut
dipindahkan melewati pipa-pipa ke tempat penampungan yang lebih besar.
Sebagian besar komposisi
abu terbang batubara tergantung dari tipe batubara. Menurut ASTM C618-86,
terdapat dua jenis abu terbang, kelas F dan kelas C. Kelas F dihasilkan dari
pembakaran batubara jenis antrasit dan bituminous, sedangkan kelas C dari
batubara jenis lignite dan subituminous.
Kelas C fly ash mengandung CaCO di atas 10 %
yang dihasilkan dari pembakaran lignite atau sub-bitumen batubara (batubara
muda).
1.
Kadar (SiO2 + Al2O3
+ Fe2O3) > 50 %
2.
Kadar CaO mencapai 10 %
Dalam campuran beton
digunakan sebanyak 15 % - 35 % dari total berat binder.
Kelas F fly ash yang mengandungCaO lebih kecil
dari 10 % yang dihasilkan dari pembakaran antrasit atau bitumen batubara.
1.
Kadar (SiO2 + Al2O3
+ Fe2O3) > 70 %
2.
Kadar CaO < 5 %
Dalam campuran beton
digunakan sebanyak 15 % - 25 % dari total binder.
Campuran beton dengan
menggunakan fly ash kelas F memiliki
ikatan lebih baik dari pada menggunakan fly
ash kelas C dikarenakan fly ash tipe
C dihasilkan dari pembakaran batubara muda sedangkan fly ash tipe F dihasilkan dari pembakaran batubara antrasit dan fly ash tipe C memilki karakteristik
ringan dan berwarna lebih terang dari fly
ash tipe F.
Fly ash atau abu terbang yang merupakan sisa-sisa
pembakaran batubara, yang dialirkan dari ruang pembakaran melalui ketel berupa
semburan asap, yang telah digunakan sebagai bahan campuran pada beton. Fly
ash atau abu terbang di
kenal di Inggris sebagai serbuk abu pembakaran. Abu terbang sendiri tidak
memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen. Tetapi dengan kehadiran air
dan ukuran partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh abu terbang
akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses
hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat.
Pada penelitian ini, saya
terfokuskan pada fly ash tipe F
dengan sisa pembakaran pada sekitar arae pertambangan yang memproduksi batubara
bituminous.
Kekuatan tekan beton ditentukan oleh
pengaturan dari perbandingan semen, agregat kasar, agregat halus, dan air.
Perbandingan air terhadap semen merupakan faktor utama dalam penentuan kekuatan
beton. Semakin rendah perbandingan air semen, semakin tinggi kekuatan tekan.
Suatu jumlah tertentu air diperlukan untuk memberikan aksi kimiawi di dalam
proses pengerasan beton, kelebihan air meningkatkan kemampuan pengerjaan akan
tetapi mempengaruhi kekuatan.
Gambar 3. Hubungan Persentase Penambahan Fly
Ash terhadap Kuat Tekan Beton
Gambar
3. menunjukkan hubungan antara kuat tekan beton dengan persentase penambahan fly
ash,
pada umur 28 hari. Dari rangkaian grafik di atas pada persentase penambahan fly
ash
sebesar 5% kuat tekan mengalami kenaikan kuat tekan yang paling optimum.
Sedangkan pada penambahan fly ash
sebesar 10% dan 15% kuat tekan menjadi menurun. Hal ini terjadi karena
pengikatan semen menjadi berkurang akibat terlalu banyak penambahan fly
ash
dan bahan tambah memiliki ketentuan optimum untuk dapat meningkatkan kuat tekan
beton, bukan berarti dengan semakin banyak bahan tambah akan meningkatkan kuat
tekan beton, justru malah mengurangi kekuatan beton. Dan untuk penambahan bahan
tambah menggunakan bahan tambah fly ash
kadar optimum didapatkan dengan menambahkan fly ash
sebesar 5%.